Hari raya Galungan yang merupakan hari raya besar bagi Umat
Hindu diperingati setlap 210 hari berdasarkan perhitungan pawukon yakni jatuh
pada hari Rabu pancawara Kliwon, wuku Dungulan. Peringatan hari raya dalam
agama Hindu menggunakan perhitungan sebagai berikut :
- Berdasar
sasih, melihat peredaran bulan di langit jatuh setiap tahun seperti
hari-hari raya Nyepi, Siwalatri bila dihitung kurang lebih setiap 365
hari.
- Berdasarkan
pawukon, yang diperingati setiap 210 hari seperti hari raya Galungan,
Kuningan, Pagerwesi dan Saraswati.
Hari Raya Galungan mempunyai makna memperingati kemenangan
Dharma melawan Adharma, secara rohani manusia mengendalikan hawa nafsu yang
sifatnya mengganggu ketentraman batin yang nantinya berekspresi dalam kegiatan
sehari-hari baik secara individu maupun kelompok. Hawa nafsu dalam diri kita
dikenal dengan nama Kalatiga yakni tiga macam kala secara hersama-sama dimulai
sejak hari Minggu sehari sebelum penyajaan, hari Senin dan berakhir hari Selasa
(Penampahan Galungan). Yang dimaksud tiga kala yakni:
- Kala
Amangkurat yakni nafsu yang selalu ingfn berkuasa, ingin menguasai segala
keinginan secara batiniah dan nafsu ingin memerintah bila tidak terkendali
tumbuh menjadi nafsu serakah untuk mempertahankan kekuasaan sekalipun
menyimpang dati kebenaran.
- Kala
Dungulan yang berarti segala nafsu untuk mengalahkan semua yang dikuasai
oleh ternan kita atau orang lain;
- Kala
Galungan yakni nafsu untuk menang dengan berbagai dalih dan cara yang
tidak sesuai dengan norma maupun etika agama.
Hari raya Galungan memang dirayakan sebagai hari raya
kemenangan Dharma melawan Adharma, kalahnya keangkaramurkaan yang oleh Mpu
Sedah disebut sebagai "Kadung gulaning parangmuka" lebih jauh
dijelaskan musuh yang dimaksud adalah musuh-musuh yang ada pada diri manusia
yang terlebih dahulu harus dikalahkan. Musuh dimaksud adalah : kenafsuan
(kama), kemarahan (kroda), keserakahan (mada), irihati (irsya) atau semua
tergolong dalam Sadripu maupun Satpa Timira. Sebagaimana kita ketahui kisah
tersebut telah tertliang dal,am kitab mahabharata yang termasuk ltihasa sangat
utama dalam sastra Hindu. Dalam kitab tersebut tertulis beiapa perjuangan
Pandawa dalam memerangi Adharma untuk menegakkan Dharma. Sang Darma Wangsa adalah keluarga
yang selalu menegakkan dharma beliau bekerja, berjuang dan berkeyakinan bahwa
kebenaran akan selalu menang (Satyam eva Jayate). Lain halnya dengan maha kawi
Danghyang Nirartha, beliau melahirkan sebuah karya kekawin Maya Danawantaka,
Dalam ceritanya dikisahkan seorang pertapa yang teguh melaksanakan tapa di
punggung gunung Ksitipogra dan pusat pemerintahannya diseputaran danau Batur
daerah Kintamani, Bangli di Bali. Setelah dia mendapat anugrah dalam
pertapaannya ternyata kelobaannya menjadi-jadi, sehingga rakyatnya di wilayah
pemerintahannya menjadi ketakutan, Si Mayadanawa tidak hanya mengumpulkan emas,
kekayaan, dia melarang melakukan yadnya, bersama tentaranya merusak, mengacau,
menyakiti, menghina sastra dan ajaran agama. Oleh karena kejahatannya, diutuslah Dewa Siwa untuk
memeranginya. Maka terjadilah pertempuran yang sangat hebat antara pasukan Dewa
Siwa dengan Mayadenawa. Karena kesaktiannya Mayadanawa menciptakan tirta cetik,
sehingga pasukan Desa Siwa yang sedang kehausan meminumnya, semua pasukan Dewa
Siwa Mati. Singkat cerita Dewa Siwa mengetahui kejadian tersebut sehingga Dewa
Siwa menciptakan tirta empul (pengurip) yang sekarang disebut tirta empul,
diperciki pasukan yang mati hidup kembali. Peperangan harus berlanjut sehingga
Mayadanawa terkepung tentaranya mati, dia lari tunggang langgang segala macam
taktik tipu muslihat dipergunakan. Mayadanawa lari agar tapak kakinya tidak
dilihat, dia lan dengan tungkai yang miring namun tetap diketahui oleh Pasukan
Dewa Siwa sehingga sebagai bukti tempat itu sampai sekarang disebut desa Tapak
Siring (Tampak Siring) asal kata dan telapak kaki miring. Kemudian Maya Danawa
lari bersembunyi di pohon kelapa pada pucuk kuncup/pada busung kelapa tetap
dapat dilacak oleh pasukan Dewa Siwa sampai sekarang tempat itu dinamakan desa
Blusung. Akhir cerita karena Mayadenawa dipihak yang salah peperangan
dimenangkan oleh Pasukan Dewa Siwa dan Mayadenawa mati. Demikian sejarah hari
Galungan.
Menyambut han Raya Galungan umat Hindu hendaknya benar-benar
dapat mengendalikan tiga nafsu ingin berkuasa, ingin mengalahkan, ingin menang
sehingga di hari Rabu/di hari Galungan dapat menegakkan dan mengibarkan
panji-panji kemenangan dan kemerdekaan spiritual. Kita dapat melepaskan pikiran
kita dari kesusahan, sehingga merasa tenang, tenteram gembira baik secara individu, keluarga,
serta seluruh umat agar dapat menatap, merencanakan hari depan semakin cerah.
Sebagai simbul kemenangan, kegembiraan, rasa syukur sehari sebelum Galungan
umat Hindu menancapkan Penjor-penjor di pintu gerbang/jalan masuk halaman rumah
yang mempunyai makna segala sumber kehidupan disediakan di bumi, penjor sebagai
lambang gunung yang merupakan segala sumber kemakmuran yang diperlukan oleh
seluruh mahluk. Gunung sebagai sumber sandang, pangan dan papan, penghasil
udara dan air oleh karena itu disimbulkan dengan penjor dengan segala hiasan
sesuai seni dan budaya umat Hindu masing-masing, dilengkapi dengan hasil bumi
pala bungkah (umbi-umbian) dan pala gantung (buah-buahan) dan juga dilengkapi
dengan kain putih kuning yang melambangkan panji-panji keheningan
ketulus-ikhlasan dan kesucian rohani.
Hari Galungan juga merupakan hari Pewedalan Jagat/hari ulang
tahunnya Jagat raya. Oleh karena itu umat Hindu dihari Galungan melaksanakan
upacara, menghaturkan sesajen sesuai peruntukannya yang ditujukan sebagai
ungkapan perasaan bakti, sujud, kagum dan bersyukur terhadap Jagatraya yang
diciptakan oleh Tuhan, Kita pahami Jagatraya sebagai tempat untuk hidup,
memberikan segala sumber penghidupan untuk itu dihari Galungan sangat baik melakukan
dana punia baik berbentuk materiil, maupun berupa pengabdian/jasa. Karena dalam
bentuk apapun dana punia itu diberikan yang tujuannya untuk kesejahteraan umat,
ketenangan nilainya sangat tinggi bila diberikan secara tulus ikhlas.
No comments:
Post a Comment